"Ku tertidur di mana pun aku bisa, ku bermimpi kapan pun ku mau, di trotoar jalan, di halte jalanan, di bangku taman dibuai anginnya".
Penggalan lagu dari grup musik asal Jakarta, Morfem, berjudul “Ku Tertidur di Mana Pun Ku Bermimpi Kapan Pun” seolah mendengarkan cerita tentang bagaimana getirnya bertahan hidup di Jakarta.
Kemegahan Jakarta dengan segala grafik pertumbuhan ekonomi dan persentase angka kemiskinan tidak selalu berbuah manis bagi sebagian masyarakat.
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta per Maret 2022, jumlah warga miskin ekstrem di Ibu Kota mengalami peningkatan dari 0,6 persen menjadi 0,89 persen secara tahunan dengan jumlah warga sebanyak 95 ribu jiwa.
Hal ini selaras dengan apa yang dirasakan sejumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Jakarta. Minimnya akses lapangan pekerjaan berdampak pada jumlah pendapatan mereka. Hal tersebut yang memaksa mereka menjalani hidup hanya untuk hari ini, makan untuk hari ini, tidur di mana pun dan kapan pun, lalu setelahnya menggantungkan harapannya untuk esok yang lebih baik.
"Dulu saya sempat bekerja sebagai buruh di salah satu konveksi di Jakarta Barat, gara-gara pandemi saya di-PHK, akhirnya saya mulung untuk menghidupi keluarga, dan saat ini saya tinggal di mana saja, tidur tinggal geletak di pinggir jalan kalo cape," ujar Amin (42) saat diwawancarai Republika di sela-sela waktu istirahatnya di trotoar flyover Rasuna Said, beberapa waktu lalu.
Di tengah musim di mana mimpi-mimpi direkayasa oleh para elite bak kenyataan, seperti “Tuhan” yang menaungi semua kenyataan pahit dan dijanjikan akan berujung indah. Sebagian mereka menjual mimpi-mimpi tentang kesejahteraan, tentang pemerataan, tentang pertumbuhan.
Namun, mimpi itu seringkali hanya iming-iming dan pada akhirnya kesejahteraan berbuah kenyataan bagi para “tuhan-tuhan” kecil. Lalu, mereka harus tetap berjibaku dengan mimpi-mimpinya, berjuang sendiri untuk menghidupinya dengan disesaki perasaan was-was
Selamat tidur, Pak, Bu, Nak. Semoga esok lebih baik.
top